Posted: 21 Nov 2009 10:06 PM PST

Takbiran Hari Raya
Posted: 21 Nov 2009 09:57 PM PST

Waktu Mulai & Berakhir Takbiran

a. Takbiran Idul Fitri

Takbiran pada saat idul fitri dimulai sejak maghrib malam tanggal 1 syawal sampai selesai shalat ‘id.

Hal ini berdasarkan dalil berikut:

1. Allah berfirman, yang artinya: “…hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (Qs. Al Baqarah: 185)

Ayat ini menjelaskan bahwasanya ketika orang sudah selesai menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan maka disyariatkan untuk mengagungkan Allah dengan bertakbir.

2. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 5621)

Keterangan:

1. Takbiran idul fitri dilakukan dimana saja dan kapan saja. Artinya tidak harus di masjid.

2. Sangat dianjurkan untuk memeperbanyak takbir ketika menuju lapangan. Karena ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Berikut diantara dalilnya:

* Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf)
* Dari Nafi: “Dulu Ibn Umar bertakbir pada hari id (ketika keluar rumah) sampai beliau tiba di lapangan. Beliau tetap melanjutkan takbir hingga imam datang.” (HR. Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)
* Dari Muhammad bin Ibrahim (seorang tabi’in), beliau mengatakan: “Dulu Abu Qotadah berangkat menuju lapangan pada hari raya kemudian bertakbir. Beliau terus bertakbir sampai tiba di lapangan.” (Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)

b. Takbiran Idul Adha

Takbiran Idul Adha ada dua:

1. Takbiran yang tidak terikat waktu (Takbiran Mutlak)

Takbiran hari raya yang tidak terikat waktu adalah takbiran yang dilakukan kapan saja, dimana saja, selama masih dalam rentang waktu yang dibolehkan.

Takbir mutlak menjelang idul Adha dimulai sejak tanggal 1 Dzulhijjah sampai waktu asar pada tanggal 13 Dzulhijjah. Selama tanggal 1 – 13 Dzulhijjah, kaum muslimin disyariatkan memperbanyak ucapan takbir di mana saja, kapan saja dan dalam kondisi apa saja. Boleh sambil berjalan, di kendaraan, bekerja, berdiri, duduk, ataupun berbaring. demikian pula, takbiran ini bisa dilakukan di rumah, jalan, kantor, sawah, pasar, lapangan, masjid, dst. Dalilnya adalah:

a. Allah berfirman, yang artinya: “…supaya mereka berdzikir (menyebut) nama Allah pada hari yang telah ditentukan…” (Qs. Al Hajj: 28)

Allah juga berfirman, yang artinya: “….Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang…” (Qs. Al Baqarah: 203)

Tafsirnya:

* Yang dimaksud berdzikir pada dua ayat di atas adalah melakukan takbiran
* Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Yang dimaksud ‘hari yang telah ditentukan’ adalah tanggal 1 – 10 Dzulhijjah, sedangkan maksud ‘beberapa hari yang berbilang’ adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.” (Al Bukhari secara Mua’alaq, sebelum hadis no.969)
* Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, bahwa maksud “hari yang telah ditentukan” adalah tanggal 1 – 9 Dzulhijjah, sedangkan makna “beberapa hari yang berbilang” adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. (Disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari 2/458, kata Ibn Mardawaih: Sanadnya shahih)

b. Hadis dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada amal yang dilakukan di hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan di tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Oleh karena itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid pada hari itu.” (HR. Ahmad & Sanadnya dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)

c. Imam Al Bukhari mengatakan: “Dulu Ibn Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Mereka berdua mengucapkan takbiran kemudian masyarakat bertakbir disebabkan mendengar takbir mereka berdua.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.969)

d. Disebutkan Imam Bukhari: “Umar bin Khatab pernah bertakbir di kemahnya ketika di Mina dan didengar oleh orang yang berada di masjid. Akhirnya mereka semua bertakbir dan masyarakat yang di pasar-pun ikut bertakbir. Sehingga Mina guncang dengan takbiran.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.970)

e. Disebutkan oleh Ibn Hajar bahwa Ad Daruqutni meriwayatkan: “Dulu Abu Ja’far Al Baqir (cucu Ali bin Abi Thalib) bertakbir setiap selesai shalat sunnah di Mina.” (Fathul Bari 3/389)

2. Takbiran yang terikat waktu

Takbiran yang terikat waktu adalah takbiran yang dilaksanakan setiap selesai melaksanakan shalat wajib. Takbiran ini dimulai sejak setelah shalat subuh tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah shalat Asar tanggal 13 Dzulhijjah. Berikut dalil-dalilnya:

a. Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau dulu bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah dluhur pada tanggal 13 Dzulhijjah. (Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Al Albani)

b. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau juga bertakbir setelah ashar. (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: “Shahih dari Ali radhiyallahu ‘anhu“)

c. Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau tidak bertakbir setelah maghrib (malam tanggal 14 Dzluhijjah). (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: Sanadnya shahih)

d. Dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. (HR. Al Hakim dan dishahihkan An Nawawi dalam Al Majmu’)

Lafadz Takbir

Tidak terdapat riwayat lafadz takbir tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja ada beberapa riwayat dari beberapa sahabat yang mencontohkan lafadz takbir. Diantara riwayat tersebut adalah:

Pertama, Takbir Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Riwayat dari beliau ada 2 lafadz takbir:

أ‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ
ب‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ

Keterangan:
Lafadz: “Allahu Akbar” pada takbir Ibn Mas’ud boleh dibaca dua kali atau tiga kali. Semuanya diriwayatkan Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf.

Kedua, Takbir Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ
اللَّهُ أَكْبَرُ، عَلَى مَا هَدَانَا

Keterangan:
Takbir Ibn Abbas diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Syaikh Al Albani.

Ketiga, Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا

Keterangan: Ibn Hajar mengatakan: Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam Al Mushanaf dengan sanad shahih dari Salman.

Catatan Penting

As Shan’ani mengatakan: “Penjelasan tentang lafadz takbir sangat banyak dari berberapa ulama. Ini menunjukkan bahwa perintah bentuk takbir cukup longgar. Disamping ayat yang memerintahkan takbir juga menuntut demikian.”

Maksud perkataan As Shan’ani adalah bahwa lafadz takbir itu longgar, tidak hanya satu atau dua lafadz. Orang boleh milih mana saja yang dia suka. Bahkan sebagian ulama mengucapkan lafadz takbir yang tidak ada keterangan dalam riwayat hadis. Allahu A’lam.

Kebiasaan yang Salah Ketika Takbiran

Ada beberapa kebiasaan yang salah ketika melakukan takbiran di hari raya, diantaranya:

a. Takbir berjamaah di masjid atau di lapangan

Karena takbir yang sunnah itu dilakukan sendiri-sendiri dan tidak dikomando. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Anas bin Malik bahwa para sahabat ketika bersama nabi pada saat bertakbir, ada yang sedang membaca Allahu akbar, ada yang sedang membaca laa ilaaha illa Allah, dan satu sama lain tidak saling menyalahkan… (Musnad Imam Syafi’i 909)

Riwayat ini menunjukkan bahwa takbirnya para sahabat tidak seragam. Karena mereka bertakbir sendiri-sendiri dan tidak berjamaah.

b. Takbir dengan menggunakan pengeras suara

Perlu dipahami bahwa cara melakukan takbir hari raya tidak sama dengan cara melaksanakan adzan. Dalam syariat adzan, seseorang dianjurkan untuk melantangkan suaranya sekeras mungkin. Oleh karena itu, para juru adzan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Bilal, dan Abdullah bin Umi Maktum ketika hendak adzan mereka naik, mencari tempat yang tinggi. Tujuannya adalah agar adzan didengar oleh banyak orang. Namun ketika melakukan takbir hari raya, tidak terdapat satupun riwayat bahwa Bilal naik mencari tempat yang tinggi dalam rangka melakukan takbiran. Akan tetapi, beliau melakukan takbiran di bawah dengan suara keras yang hanya disengar oleh beberapa orang di sekelilingnya saja.

Oleh karena itu, sebaiknya melakukan takbir hari raya tidak sebagaimana adzan. Karena dua syariat ini adalah syariat yang berbeda.

c. Hanya bertakbir setiap selesai shalat berjamaah

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa takbiran itu ada dua. Ada yang terikat waktu dan ada yang sifatnya mutlak (tidak terikat waktu). Untuk takbiran yang mutlak sebaiknya tidak dilaksanakan setiap selesai shalat fardlu saja. Tetapi yang sunnah dilakukan setiap saat, kapan saja dan di mana saja.

Ibnul Mulaqin mengatakan: “Takbiran setelah shalat wajib dan yang lainnya, untuk takbiran Idul Fitri maka tidak dianjurkan untuk dilakukan setelah shalat, menurut pendapat yang lebih kuat.” (Al I’lam bi Fawaid Umadatil Ahkam: 4/259)

Amal yang disyariatkan ketika selesai shalat jamaah adalah berdzikir sebagaimana dzikir setelah shalat. Bukan melantunkan takbir. Waktu melantunkan takbir cukup longgar, bisa dilakukan kapanpun selama hari raya. Oleh karena itu, tidak selayaknya menyita waktu yang digunakan untuk berdzikir setelah shalat.

d. Tidak bertakbir ketika di tengah perjalanan menuju lapangan

Sebagaimana riwayat yang telah disebutkan di atas, bahwa takbir yang sunnah itu dilakukan ketika di perjalanan menuju tempat shalat hari raya. Namun sayang sunnah ini hampir hilang, mengingat banyaknya orang yang meninggalkannya.

e. Bertakbir dengan lafadz yang terlalu panjang

Sebagian pemimpin takbir sesekali melantunkan takbir dengan bacaan yang sangat panjang. Berikut lafadznya:

الله أكبر كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ…

Takbiran dengan lafadz yang panjang di atas tidak ada dalilnya. Allahu a’lam.

***

Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or.id

readmore »»

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Permohonan Bantuan Keramik dan Teras Masjid Ma’had Imam Asy Syafi’i, Banyuwangi, Jatim

Posted: 22 Nov 2009 11:28 PM PST

YAYASAN DARUN NAJAH GENTENG
MA’HAD IMAM ASY SYAFI’I AS SALAFY
Jl. Temuguruh No. 99E Genteng, Banyuwangi, Jatim 68465

Telp. (0333) 844913 Fax. (0333) 844913 email: asy.syafii@yahoo.com

بسم الله الرحمن الر حــــيم

Latar Belakang

1. Kondisi masjid yang telah dibangun dengan baik akan tetapi belum ada alas keramik sehingga alas hanya menggunakan tikar dan atau karpet biasa.
2. Agar masjid lebih bersih dan membuat santri, pengunjung dan jama’ah/masyarakat sekitar semakin nyaman dalam beribadah.

Misi

1. Da’wah Islamiyah Ahlussunnah Wal Jamaah berdasarkan Al Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafush Sholih.
2. Mengembangkan Lembaga Pendidikan Dieniyah Islamiyah (Pondok Pesantren) dengan metode Salaful Ummah didukung dengan lingkungan belajar yang kondusif.

Landasan Kegiatan

1. “Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah kamu sekalian saling tolong menolong dalam kejelekan dan kejahatan” (Qs. Al Maidah: 2)
2. “Barang siapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya dijalan Allah) maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya.” (Qs. Al Baqoroh: 245)
3. “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebulir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al Baqoroh: 261)
4. “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, Mengapa engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shaleh?” (Qs. Al Munafiqun: 10)
5. “Barang siapa yang membangun masjid untuk Allah maka Allah bangunkan rumah untuknya di surga.” (HR. Al Baihaqi di dalam Shohihul Jami’ no: 6127)

Agar lebih jelas mengenai rincian biaya, silahkan klik DOWNLOAD PROPOSAL

Bantuan dapat ditransfer ke rekening berikut:

BCA Cabang Genteng
No. Rekening 2630299627 a.n. Sonhaji

Konfirmasi ke +6281 332 196815 atau (0333) 7719949 dengan Bpk. Sonhaji

Atas bantuan pembaca sekalian, kami ucapkan terima kasih, jazaakumullahu khaira. Semoga amal kita diterima oleh Allah Ta’ala dan kelak akan bersaksi di hari kiamat sebagai hujjah kebaikan untuk kita.

readmore »»

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ. يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ : وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ.

“Tidak ada hari-hari yang pada waktu itu amal shaleh lebih dicintai oleh Allah melebihi sepuluh hari pertama (di bulan Dzulhijjah).” Para sahabat radhiyallahu ‘anhum bertanya, “Wahai Rasulullah, juga (melebihi keutamaan) jihad di jalan Allah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Ya, melebihi) jihad di jalan Allah, kecuali seorang yang keluar (berjihad di jalan Allah) dengan jiwa dan hartanya kemudian tidak ada yang kembali sedikitpun.”[1]

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan beramal shaleh pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Oleh karena itu, Imam an-Nawawi dalam kitab beliau Riyadhush Shalihin[2] mencantumkan hadits ini pada bab: Keutamaan ibadah puasa dan (ibadah-ibadah) lainnya pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:


1.Allah melebihkan keutamaan zaman/waktu tertentu di atas zaman/waktu lainnya, dan Dia mensyariatkan padanya ibadah dan amal shaleh untuk mendekatkan diri kepada-Nya[3].
2. Karena besarnya keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini, Allah Ta’ala sampai bersumpah dengannya dalam firman-Nya: وَلَيَالٍ عَشْرٍ “Dan demi malam yang sepuluh.” (Qs. al-Fajr: 2). Yaitu: sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah, menurut pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dan Ibnu Rajab[4], [serta menjadi pendapat mayoritas ulama].
3. Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani berkata, “Tampaknya sebab yang menjadikan istimewanya sepuluh hari (pertama) Dzulhijjah adalah karena padanya terkumpul ibadah-ibadah induk (besar), yaitu: shalat, puasa, sedekah dan haji, yang (semua) ini tidak terdapat pada hari-hari yang lain.”[5]
4. Amal shaleh dalam hadits ini bersifat umum, termasuk shalat, sedekah, puasa, berzikir, membaca al-Qur’an, berbuat baik kepada orang tua dan sebagainya.[6]
5. Termasuk amal shaleh yang paling dianjurkan pada waktu ini adalah berpuasa pada hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah)[7], bagi yang tidak sedang melakukan ibadah haji[8], karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang puasa pada hari ‘arafah, beliau bersabda, أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ “Aku berharap kepada Allah puasa ini menggugurkan (dosa-dosa) di tahun yang lalu dan tahun berikutnya.”[9]
6. Khusus untuk puasa, ada larangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukannya pada tanggal 10 Dzulhijjah[10], maka ini termasuk pengecualian.
7. Dalam hadits ini juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa berjihad di jalan Allah Ta’ala adalah termasuk amal yang paling utama[11].

***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.
Artikel www.muslim.or.id

[1] HSR al-Bukhari (no. 926), Abu Dawud (no. 2438), at-Tirmidzi (no. 757) dan Ibnu Majah (no. 1727), dan ini lafazh Abu Dawud.

[2] 2/382- Bahjatun Naazhirin.

[3] Lihat keterangan Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab Latha-iful Ma’aarif (hal. 19-20).

[4] Lihat Tafsir Ibnu Katsir (4/651) dan Latha-iful Ma’aarif (hal. 20).

[5] Fathul Baari (2/460).

[6] Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam Syarhu Riyadhis Shalihin (3/411).

[7] Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam as-Syarhul Mumti’ (3/102).

[8] Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak puasa pada hari itu ketika melakukan ibadah haji, sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 1887) dan Muslim (no. 123). Lihat kitab Zaadul Ma’ad (2/73).

[9] HSR Muslim (no. 1162).

[10] Sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 1889) dan Muslim (no. 1137).

[11] Lihat Syarhu Riyadhis Shalihin (3/411).

readmore »»