Orang ramai bicara tentang kiamat, saat kehancuran bumi yang kemudian diikuti dengan dibangkitkannya manusia kembali. Kini semakin ramai diperbincangkan kembali. Bukan masalah ada atau tidaknya kiamat, karena hampir semua orang percaya adanya kiamat. Yang sedang hangat didiskusikan adalah kapan kiamat itu tiba.

Alam dunia adalah salah satu fase kehidupan yang dilalui oleh manusia, suatu saat nanti dunia ini akan berakhir dan manusia berpindah kepada fase kehidupan berikutnya yaitu alam akhirat. Akhir kehidupan dunia inilah yang disebut kiamat.

Sesungguhnya setiap makhluk hidup —apakah itu manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan— memiliki tanda-tanda dari akhir kesudahan hidupnya di dunia. Tanda-tanda dekatnya kematian manusia adalah rambut beruban, tua, sakit, atau lemah. Begitu juga halnya dengan hewan, hampir sama dengan manusia. Sementara tumbuhan warna menguning, kering, jatuh, lalu hancur. Demikian juga alam semesta, memiliki tanda-tanda akhir masanya seperti kehancuran dan kerusakan.

Kiamat disebut juga dengan Sa’ah. Sa’ah asalnya adalah sebagian malam atau siang. Dikatakan juga bahwa sa’ah segala sesuatu berarti waktunya hilang dan habis. Dari makna ini, sa’ah atau kiamat mengandung dua macam, yaitu:

Sa’ah khusus bagi setiap makhluk, seperti tanaman, binatang dan manusia ketika mati; dan bagi sebuah umat jika datang ajalnya. Itu semua dikatakan telah datang saatnya.

Sa’ah umum bagi dunia secara keseluruhan ketika ditiup sangkakala, maka hancurlah segala yang di langit dan di bumi.

Bagaimana dengan kiamat yang sebenarnya? Tentu saja lebih dahsyat, lebih besar, dan lebih mengerikan. Al-Quran banyak menyebutkan tentang kejadian di hari kiamat. Tanpa keraguan sedikit pun, kaum muslimin meyakini bahwa kiamat memang akan tiba. Kepastian terjadinya ditetapkan oleh dalil-dalil al-Quran dalam jumlah yang banyak.

Di antara dalil-dalil tersebut adalah:

“Dan sesungguhnya Sa’ah (Hari Kiamat) Itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur.” (Al-Hajj: 7).

“Sesungguhnya Hari Kiamat pasti akan datang, tidak ada keraguan tentangnya, akan tetapi kebanyakan manusia tiada beriman.” (Ghafir: 59).

KEDATANGANNYA DIDAHULUI DENGAN TANDA

Terjadinya kiamat adalah hal yang ghaib. Hanya Allah yang tahu. Tidak satu pun makhluk-Nya mengetahui kapan kiamat, baik para nabi maupun malaikat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat.” (Luqman:34)

Karena itulah, ketika ditanya tentang hal ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengembalikannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Kepada-Nya lah dikembalikan pengetahuan tentang hari kiamat.” (Fushilat:47)

Allah merahasiakan terjadinya hari kiamat, dan menerangkan bahwa kiamat akan datang secara tiba-tiba.

“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: ‘Bilakah terjadinya?’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui’” (Al-A’raf: 187)

Ibnu Katsir berkata, “Firman Allah, ‘Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia’ adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada nabi-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam, apabila beliau ditanya tentang waktu terjadinya kiamat, hendaklah mengembalikan pengetahuan tentang itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Dialah yang menjelaskan waktu kedatangannya atau mengetahui kejelasan
perkara itu dan kapan kepastian waktunya.’ (Tafsir Ibnu Katsir juz III hal. 518)

Meskipun tidak diketahui, kiamat sebenarnya sudah dekat waktu kedatangannya. Allah nyatakan di dalam al-Quran,

“Manusia bertanya kepadamu tentang Hari Berbangkit. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang Hari Berbangkit itu hanya di sisi Allah.’ Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi Hari Berbangkit itu sudah dekat waktunya.” (Al-Ahzab:63)

“Telah dekat datangnya sa’ah itu dan telah terbelah bulan.” (Al-Qamar: 1).

Nabi Shallalahu Alaihi wa Sallam, di antaranya, pernah bersabda menyatakan betapa dekatnya waktu datangnya hari kiamat,

“Aku diutus, sedangkan aku dan Hari Kiamat adalah seperti ini,’ beliau menyandingkan antara jari tengah dan jari telunjuk.” (Syu’abul Iman juz VII hal 259/260 no. 10235, menurut penulisnya hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dari hadits Abu Hushain).

Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim ketika Jibril datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya tentang kapan Kiamat, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab,

“Yang ditanya tentang Hari Kiamat tidak lebih mengetahui dari yang bertanya.” (Shahih al-Bukhari no. 48 dan Muslim no. 9)

Namun demikian, sesungguhnya Allah dengan rahmat-Nya telah menjadikan kiamat memiliki alamat yang menunjukkan ke arah itu dan tanda-tanda yang mengantarkannya.

“Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan hari kiamat (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang tanda-tanda-nya. Maka apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu apabila hari kiamat sudah datang?” (Muhammad: 18)

“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan Tuhanmu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Tuhanmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: ‘Tunggulah olehmu sesungguhnya kami pun menunggu (pula) (Al-An’am: 158)

Tanda-tanda kiamat adalah alamat kiamat yang menunjukkan akan terjadinya kiamat tersebut. Tanda-tanda kiamat ada dua: tanda-tanda kiamat besar dan tanda-tanda kiamat kecil.

Tanda kiamat kecil adalah tanda yang datang sebelum kiamat dengan waktu yang relatif lama, dan kejadiannya biasa, seperti dicabutnya ilmu, dominannya kebodohan, minum khamr, berlomba-lomba dalam membangun, dan lain-lain. Terkadang sebagiannya muncul menyertai tanda kiamat besar atau bahkan sesudahnya.

Tanda kiamat besar adalah perkara yang besar yang muncul mendekati kiamat yang kemunculannya tidak biasa terjadi, seperti muncul Dajjal, Nabi Isa, datangnya Ya’juj dan Ma’juj, terbit matahari dari Barat, dan lain-lain.

Para ulama berbeda pendapat tentang permulaan yang muncul dari tanda kiamat besar. Tetapi Ibnu Hajar berkata, “Yang kuat dari sejumlah berita tanda-tanda kiamat, bahwa keluarnya Dajjal adalah awal dari tanda-tanda kiamat besar, dengan terjadinya perubahan secara menyeluruh di muka bumi. Dan diakhiri dengan wafatnya Isa.”

Sedangkan terbitnya matahari dari barat adalah awal dari tanda-tanda kiamat besar yang mengakibatkan perubahan kondisi langit. Dan berakhir dengan terjadinya kiamat.” Ibnu Hajar melanjutkan, “Hikmah dari kejadian ini bahwa ketika terbit matahari dari barat, maka tertutuplah pintu taubat.” (Fathul Bari)

Jadi kalau kita perhatikan, sebagian tanda kiamat kecil di atas jelas sudah kita jumpai di zaman kita dewasa ini. Bahkan bila kita buka kitab para ulama yang menghimpun hadits-hadits mengenai tanda-tanda kecil Kiamat, lalu kita baca satu per satu hadits-hadits tersebut hampir pasti setiap satu hadits selesai kita baca kita akan segera bergumam di dalam hati: “Wah, yang ini sudah..!” Hal ini akan selalu terjadi setiap habis kita baca satu hadits. La haula wa la quwwata illabillah….

Jika tanda-tanda kecil Kiamat sudah hampir muncul seluruhnya berarti kondisi dunia dewasa ini berada di ambang menyambut kedatangan tanda-tanda besar Kiamat.

SIAPA BISA MERAMAL KIAMAT?

Banyak peramal meramaikan bursa dugaan datangnya kiamat. Isaac Newton dikabarkan meramalkan kiamat pada tahun 2060. Sebagian orang beranggapan, berdasarkan perhitungan kalander bangsa Maya. Kiamat, menurut anggapan mereka, terjadi pada tahun 2012, tepatnya 21 ‘Desember. Wow!

Bukan berarti anti kiamat, namun terlalu na’if membenarkan sebuah prediksi yang kesannya terlalu dipaksakan. Memang saat ini kita masuk kedalam zaman akhir, namun akhir zaman tetaplah sebuah misteri kepunyaan Allah. Tidak ada dalam satu agama manapun yang menyebutkan secara eksplisit kapan terjadinya kiamat dengan secara terbuka. Semua hanyalah bersifat tanda-tanda. Kiranya dengan begitu manusia menyadari bahwa setiap hari
bisa menjadi akhir untuk hidup mereka di dunia dan tidak ada seorangpun di dunia ini yang diberi sebuah wewenang untuk mengetahui kapan secara pasti hari kiamat akan terjadi. Yang terjadi saat ini adalah sebuah kesoktahuan manusia untuk berusaha memprediksi angka jadi kapan dunia ini akan berakhir.

Terkait dengan akhir penanggalan panjang suku Maya jelas itu hanya hitung-hitungan yang penuh dugaan. Tidak layak seorang muslim mempercayai ramalan semacam itu. Kalaulah benar tahun 5126 M yang bertepatan dengan tahun 2012 M adalah tahun berakhirnya penanggalan mereka yang diyakini pula dengan berakhirnya dunia maka bukanlah berarti bahwa dunia ini akan hancur (kiamat), dikarenakan menurut kosmologi suku Maya bahwa bumi diciptakan 5 kali dan dihancurkan 4 kali. Dengan demikian siklus kalender Maya boleh berakhir, namun siklus baru akan kembali berulang.

Bahkan sebagian ahli mengatakan,

‘Ramalan-ramalan itu benar-benar tidak ada dasarnya sama sekali, apalagi di kebudayaan Maya yang kita kenal,” kata Stephen Houston, profesor antropologi di Brown University, yang juga ahli tulisan hieroglif Maya. “Penggambaran bangsa Maya tidak pernah menyebut-nyebut hal ini.”katanya.

Bangsa Maya melihat bahwa tanggal tersebut adalah tanggal kalender mereka, tapi kemudian mengulang kalender mereka kembali tanpa adanya bencana sama sekali.

Sebagian meramal berdasar teori planet Nibiru, bantahan yang ada dari seorang ahli di NASA mengatakan “Kami saja sampai sekarang masih berdebat soal Pluto, tiba-tiba ada orang yang mengatakan adanya planet Nibiru. Dari mana ini? Lucu sekali, kami sampai sekarang belum bisa menemukan planet lain, sudah ada yang menemukan planet Nibiru pula,
tanpa ada konfirmasi dari mana berita itu muncul.”

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Kunci-kunci ghaib itu lima, ‘Sesungguhnya hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat, dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada didalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok, dan tiada yang seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Shahih al-Bukharino.4261)

Al-Qurthubi menyebutkan pendapat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa kelima kunci ghaib tersebut tidaklah ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal itu juga tidak diketahui oleh para malaikat, para Nabi yang diutus. Karena itu barang siapa yang beranggapan bahwa dirinya mengetahui sesuatu tentang itu semua, maka orang itu telah mengingkari al-Quran dikarenakan ia telah menyalahinya. (Al-Jami’ Li Ahkamil Quran juz XIV hal. 400)

Allah lah yang mengetahui kebenaran hakikinya, bahkan terhadap berbagai penafsiran tentang alam semesta ini, perkembangan alam maupun kehidupan yang seluruhnya merupakan teori-teori, seperti halnya teori ledakan besar, teori ini dan itu. Sebagaimana sebuah teori, tentu akan ada pula sebagian ilmuwan lainnya yang melakukan penyanggahan terhadapnya dengan berbagai teori lainnya dan begitulah selanjutnya. Adapun hakikat kebenarannya di dalam permasalahan ini tidaklah ada yang mengetahuinya kecuali Allah Azza wa Jalla, sebagaimana disebutkan didalam Al-Quran.

Lantas mengapa sebagian kita percaya dengan ramalan tersebut bahkan merasa harus menguatkan dengan uthak-athik dalil?

========
disalin dari Majalah Fatawa, Vol. V / No.11 Dzulhijjah 1430-November 2009, hal. 8-11
ShareThis

readmore »»

Keutamaan Berjabat Tangan Ketika Bertemu

Posted: 07 Dec 2009 07:24 PM PST

Dari al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.“[1]

Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan berjabat tangan ketika bertemu, dan ini merupakan perkara yang dianjurkan berdasarkan kesepakatan para ulama[2], bahkan ini merupakan sunnah yang muakkad (sangat ditekankan)[3].

Faidah-Faidah Penting yang Terkandung Dalam Hadits:

1. Arti mushaafahah (berjabat tangan) dalam hadits ini adalah berjabat tangan dengan satu tangan, yaitu tangan kanan, dari kedua belah pihak[4]. Cara berjabat tangan seperti ini diterangkan dalam banyak hadits yang shahih, dan inilah arti “berjabat tangan” secara bahasa[5]. Adapun melakukan jabat tangan dengan dua tangan adalah cara yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[6].
2. Berjabat tangan juga disunnahkan ketika berpisah, berdasarkan sebuah hadits yang dikuatkan oleh syaikh al-Albani[7]. Maka pendapat yang mengatakan bahwa berjabat tangan ketika berpisah tidak disyariatkan adalah pendapat yang tidak memiliki dalil/argumentasi. Meskipun jelas anjurannya tidak sekuat anjuran berjabat tangan ketika bertemu[8].
3. Berjabat tangan adalah ibadah yang disyari’atkan ketika bertemu dan berpisah, maka melakukannya di selain kedua waktu tersebut, misalnya setelah shalat lima waktu, adalah menyelisihi ajaran Nabi, bahkan sebagian ulama menghukuminya sebagai perbuatan bid’ah[9]. Di antara para ulama yang melarang perbuatan tersebut adalah al-’Izz bin ‘Abdussalam, Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i, Quthbuddin bin ‘Ala-uddin al-Makki al-Hanafi, al-Laknawi dan lain-lain[10].
4. Adapun berjabat tangan setelah shalat bagi dua orang yang baru bertemu pada waktu itu (setelah shalat lima waktu, pen), maka ini dianjurkan, karena niat keduanya adalah berjabat tangan karena bertemu dan bukan karena shalat[11].
5. Mencium tangan seorang guru/ustadz ketika bertemu dengannya adalah diperbolehkan, berdasarkan beberapa hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatan beberapa orang sahabat radhiyallahu ‘anhum. Akan tetapi kebolehan tersebut harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
(a) Tidak menjadikan hal itu sebagai kebiasaan, karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum sendiri tidak sering melakukannya kepada Rasuluillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi jika hal itu dilakukan untuk tujuan mencari berkah dengan mencium tangan sang guru.
(b) Perbuatan itu tidak menjadikan sang guru menjadi sombong dan merasa dirinya besar di hadapan orang lain, seperti yang sering terjadi saat ini.
(c) Jangan sampai hal itu menjadikan kita meninggalkan sunnah yang lebih utama dan lebih dianjurkan ketika bertemu, yaitu berjabat tangan, sebagaimana keterangan di atas[12].

***

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR Abu Dawud (no. 5212), at-Tirmidzi (no. 2727), Ibnu Majah (no. 3703) dan Ahmad (4/289), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dengan berbagai jalur dan pendukungnya dalam kitab Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (no. 525).
[2] Lihat Syarh Shahih Muslim (17/101) dan Fathul Baari (11/55).
[3] Lihat kitab Faidhul Qadiir (5/499).
[4] Lihat kitab Tuhfatul ahwadzi (7/429) dan ‘Aunul Ma’bud (14/80).
[5] Lihat kitab Lisanul ‘Arab (2/512).
[6] Lihat kitab Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (1/51-52).
[7] Dalam Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (1/48).
[8] Ibid (1/52-53).
[9] Seperti al-Fadhil ar-Ruumi, al-Laknawi dan syaikh al-Albani.
[10] Lihat nukilan ucapan mereka dalam kitab al-Qaulul Mubin fi Akhtha-il Mushallin (hal. 294-296).
[11] Lihat Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (1/53).
[12] Lihat Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (1/302).




readmore »»

Hidayah tidak selalu datang pada hati yang telah “siap”. Tidak jarang seorang yang telah tertarik dengan Islam, akan berusaha menjalankan segala yang diperintahkan oleh agama Islam. Namun, aku merupakan kasus lain, aku benar-benar ikhlas menerima Islam sebagai tuntunan hidup setelah kira-kira tujuh tahun.

Setelah bermimpi berada di masjid dan mengenakan mukena serta didoakan oleh seorang ustadz, saat i’tikaf untuk pertama kali dalam hidupku, aku semakin mantap untuk membaca dua kalimat syahadat, sebagai wujud keseriusan aku memilih Islam sebagai tuntunan hidup dan secara ikhlas bersumpah berusaha kuat menjalankan segala perintah-Nya. Di dalam keluarga, aku adalah anak pertama adari tiga bersaudara. Dari pihak ibu, Eyang putri dan Eyang kakung berasal dari Solo dan Sedayu. Sedangkan dari pihak Ayah, nenek adalah asli orang Makassar tepatnya Tanah Toraja. Eyang buyut dari pihak nenek, adalah salah satu pemangku adat dan pendeta di daerahnya.

Dulu aku adalah penganut Katholik yang taat. Aku menempuh pendidikan formal mulai TK-SMU di sekolah swasta yang notabene milik yayasan Katholik. Saya mengenyam pendidikan formal di TK Santo Yoseph, SMP Katholik Puteri (sekarang ganti nama menjadi SMP Katholik Santa Maria, dan SMUK Santo Augustinus).

Awal ketertarikanku dengan Islam hanya kerena dua kata – mesti inti dari semua ketertarikanku pada Islam adalah karena aku sendiri tidak memahami adanya “Doktrin Trinitas” dalam keyakinan lama yang aku anut – yaitu Iri dan Logis.

Di sini aku tegaskan, aku memaparkan penjelasan ini untuk mendiskreditkan ajaran-agama lain. Dalam hal ini aku berbicara karena kapasitasku hanyalah muallaf yang benar-benar tertarik pada Islam karena akhirnya saya benar-benar memilih Islam sebagai tuntunan hidupku.

Aku Iri dengan Islam

Pertama, dalam agamaku yang dulu dikenal dengan adanya dosa turunan. Dalam keyakinanku yang lama, setiap bayi yang dilahirkan ke bumi telah membawa dosa , hal tersebut dikarenakan dulu manusia petama, Nabi Adam, telah berbuat dosa yang mengakibatkannya diusir dari surga oleh Tuhan dan dosa itu ikut ditanggung oleh anak keturunannya sampai sekarang. Dulu timbul pertanyaan dalam diriku “Tidak adil sekali, orang nggak ikut berbuat dosa masa menanggung akibatnya? Bukankah Tuhan itu Maha Adil??.

Kedua, ada semacam statement “Jika masuk Islam maka akan mendapat pahala”. Waktu itu aku berpikir, “Wah asyik sekali, begitu masuk Islam aku mendapat pahala, mau sekali!”.

Ketika, ketika saya melihat acara ‘Ied di televisi, aku merasakan suatu yang -dalam bahasaku menakjubkan- berbeda. Waktu aku menganut keyakinan Katholik, aku belum pernah merasakan ketika bersembahyang aku menitikkan air mata. Pertanyaanku, mengapa mereka bisa meneteskan air mata seperti itu? Apa karena dosa-dosa mereka? Atau karena rindu bertemu Tuhannya? Atau hal lain? Untuk yang pertama, aku yakin semua manusia tidak pernah luput dari dosa. Tapi dulu aku merasa telah melaksanakan ajaran agama Katholik yang disebut dengan 10 Perintah Allah. Aku rajin ke Gereja, selalu patuh pada orang tua dan saudara-sudaraku yang lebih tua, rajin datang ke sekolah minggu, rajin ikut kegiatan sosial, rajin pergi ke Panti Wreda (Panji Jompo milik Yayasan Katholik, milik Yayasan Santo Yoseph, tempat dimana aku mengenyam pendidikan TK-SD). Jadi, waktu itu tidak ada alasan yang membuatku untuk menangis hanya karena dosa, karena aku merasa tidak pernah melakukan apa-apa yang dilarang oleh Tuhan. Jika karena alasan yang kedua, rindu apada Tuhannya. Bagaimana aku bisa menangis, aku saja belum tahu pasti siapa Tuhanku. Apakah Tuhanku itu Allah Bapa? atau Yesus? atau Roh Kudus? Aku memang benar-benar belum tahu pasti siapa Tuhanku.

Islam adalah Logis

Pertama, menurut pendapatku, Islam adalah satu-satunya agama yang secara jelas memberikan konsep ketuhanan. Setelah mengenal Islam, aku semakin tahu siapa tuhanku. Kedua, aku dulu memang belum pernah melihat seperti apa kitab suci teman saya yang beragama Hindu dan Budha tapi saya membandingkan kitab suci keyakinan saya dulu dengan kitab suci umat Islam, Al-Qur’an.

“Mengapa kitab suci umat Islam dimanapun berada, dari dulu sampai sekarang tetap menggunakan Bahsa Arab, beda sekali dengan punyaku, jangankan lain negara, untuk satu kota saja sudah berbeda bahasa, bukankah hal tersebut justru rawan untuk diselewengkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab?”.

Saat berproses dalam bangku kuliah, saya menemukan teman-teman yang menyenangkan. Di hadapan mereka, aku mengaku beragama Islam (padahal dalam kenyataan saya memang belum bisa memutuskan apakah aku tetap menganut keyakinanku yang lama atau pindah ke Islam). Saat mengikuti kajian tentang keislaman atau mengaji bersama aku terpaksa memakai jilbab hanya karena merasa sungkan, malu, karena mereka semua memakai jilbab.

Saat mulai kuliah, aku memutuskan untuk tidak pernah kembali pada keyakinan saya yang lama, dan akan mengikuti tata cara peribadatan yang dilakukan oleh umat Islam. Semua ini aku lakukan hanya karena aku tidak ingin dikatakan sebagai orang yang tidak beragama. Aku shalat bukan karena Allah ta’ala, tapi karena manusia, Aku melaksanakan shalat hanya sekadar aktifitas yang memang diwajibkan, kalau mood shalat kalau tidak mood ya tidak.

Setelah menyelesaikan kuliah, aku mengikuti kursus Bahasa Inggris di salah satu daerah di kotaku. Setiap kursusan yang ada mewajibkan setiap muslimah untuk memakai jilbab, dan inilah yang membuatku berat, “Waduh.. pakai jilbab nih, mana mungkin!!”, inilah yang terlintas dalam benakku. Akhirnya aku terpaksa memakai jilbab daripada nggak boleh ikut kursus. Aku memakai jilbab hanya waktu kursus, ketika beraktifitas di luar kursus aku lepas jilbabku.

Hidayah Allah Ta’ala mulai menyentuh diriku setelah aku selesai mengikuti kursus Bahsa Inggris di kotaku. Saat itu tanggal 13 September 2006, pukul 12.15 WIB aku dihubungi seseorang yang mengatakan bahwa aku diterima sebagai guru Bahasa Inggris di salah satu English Course, senang sekali aku saat itu. Malam harinya aku berdoa dan tidak lupa bersyukur atas karunia-Nya. Saat tidur aku bermimpi aku brada dalam masjid, mengenakan mukena, dan dihadapanku ada (mungkin) imam masjid engan pakaian putih yang sedang mendoakan saya. Ketika bangun di pagi harinya aku terkejut, jujur seumur hidup aku baru bermimpi masjid dan mengenakan mukena. Aku baru teringat bahwa dua bulan yang lalu pernah membaca buku masalah i’tikaf. Aku mencoba menganalisa mimpiku,

“Oh mungkin mimpi saya waktu itu artinya aku sedang beri’tikaf, tapi kok ada seorang imam masjid yang mendo’akanku?”

Akhirnya, aku putuskan untuk menolak lamaran sebagai guru Bahasa Inggris tersebut – saat itu aku berpikir, jika aku terima tawarkan tersebut, di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ku pasti tidak bisa pergi ke Surabaya untuk i’tikaf bersama saudaraku. Memang, saat itu hatiku sudah mantap untuk i’tikaf, kerinduanku untuk segera berada dalam masjid seolah-olah begitu membuncah.

Akhirnya, hari yang aku tunggu datang juga. Aku bersama Saudara i’tikaf di Masjid daerah Gayungsari. Saya merasakan kenikmatan yang luar biasa, aku merasa dekat dengan Rabbku. Tepat di malam ke 27 aku bermimpi lagi seperti mimpi saya pada tanggal 13 September kemaren.

Setelah kejadian tersebut hati aku merasa mantap untuk mengucap dua kalimat syahadat dengan penuh keikhlasan, aku bersumpah akan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan berjalannya waktu, aku mencoba menghubungi teman, dan mengutarakan niatku. Aku sangat senang ternyata temanku mau membantuku dan mencarikan kau seorang ustadz. Tetap tanggal 17 Desember 2006 pukul 07.15 bertempat di Masjid Baiturrahman, Kediri, seorang imam masjid, ustadz, dan hakim Pengadilan Agama di kotaku, Ustadz Abdurrahman membimbingku untuk membaca dua kalimat Syahadat dan mendoakan saya yang diamini oleh puluhan jama’ah yang berada dalam masjid tersebut.

Aku tidak bisa menahan air mataku yang terus meleleh , aku tidak peduli dengan keadaanku saat itu. Aku merasa sangat bersyukur atas karunia-Nya, ternyata aku bisa menahan hatiku untuk kembali pada keyakinanku dan mantap untuk mengucap dua kalimat syahadat di hadapan ustadz dan puluhan jama’ah sebagai wujud keseriusanku menerima Islam sebagai tuntunan hidupku. Sampai tulisan ini aku buat, ibu dan adikku masih menganut Katholik, namun aku tidak berhenti berdoa agar mereka mendapatkan hidayah sepertiku. (ESI).

Ditulis ulang dari majalah Elfata, edisi 11 Volume 07 tahun 2007, Kolom: Kisah Kamu.



readmore »»

Allah Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab:59)

Wahai ukhti muslimah,… ayat ini ternyata dijadikan dalil oleh suatu kaum untuk menyanggah bahwa jilbab hanya dipakai dalam kondisi diganggu, kalau tidak ada gangguan sah-sah saja membuka jilbab,..banyak saudari kita yang ilmunya masih minim termakan syubhat ini. Lalu apakah memang benar demikian?

Percakapan inilah yang pernah penulis dengar:

“Aman-aman saja kok, keluar tanpa jilbab, ga ada yang ganggu kita tuh! Buktinya justru yang pake jilbab dikomentari macem-macem,… Lagian liat dong ada ayatnya kenapa harus pake jilbab yaitu agar tidak diganggu,…iya kan? Nah kondisi nya waktu ayat itu turun ga aman, sekarang sudah aman, ga ada yang ganggu wanita muslimah keluar tanpa jilbab,..jadi sebabnya udah hilang dengan kata lain jadinya jilbab tu ga wajib gitu…..”

Waduh, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi kalau syubhat ini di diamkan begitu saja.Keraguan semakin bertambah dan ujung-ujungnya ‘ogah’ pake jilbab. Lalu mencemoh muslimah lain yang pake jilbab.

Wahai ukhti muslimah,… syubhat tersebut sangat lemah bahkan lebih lemah dari sarang laba-laba. Cobalah tengok apa benar kenyataannya bahwa wanita yang tidak berjilbab tidak diganggu?Justru malah sebaliknya. Tengoklah berapa banyak kasus pemerkosaan terjadi karena wanita yang mengumbar auratnya. Di USA negara yang serba bebas ini mendapat laporan dari kantor polisi bahwa setiap 5 hingga 6 menit wanita USA diperkosa.1

Sangat menyedihkan fakta yang tidak bisa ditutupi. Dengan demikian benarlah firman-Nya bahwa Allah telah menjelaskan hikmah dari perintah mengulurkan jilbabnya adalah bahwa wanita yang diselimuti jilbab, maka dapatlah dimengerti bahwa dia itu seorang wanita yang bersih, terjaga dan berperilaku baik. Sehingga orang-orang fasik tidak berani mengganggu dan menyakitinya. Berbeda dengan seorang wanita yang keluar dari rumah dengan membuka auratnya, tentu yang demikian ini akan menjadi incaran orang-orang fasik serta akan digoda oleh mereka, seperti yang dapat di saksikan di setiap tempat dan masa. Oleh karena itu, Allah memerintahkan seluruh wanita mukminat agar mengenakan jilbab untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan.2

Kemudian marilah kita lihat dengan seksama ayat diatas (surat Al-Ahzab ayat 33) adalah perintah Allah kepada wanita muslimah untuk memakai jilbab. Adapun supaya bisa lebih dikenal dan tidak diganggu bukanlah alasan untuk memakai jilbab,akan tetapi itu adalah dampak atau akibat positif bagi yang berjilbab. Bahwa orang yang berjilbab, disebabkan ia berjilbab dia lebih dikenal dan mudah dibedakan antara wanita muslimah dengan wanita non muslimah. Karena dengan berjilbab dia lebih terhindar dari gangguan orang yang nakal.Seperti orang sholat, kaum muslimin diperintahkan untuk sholat, Allah berfirman :

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

“tegakkanlah(dirikanlah) shalat untuk mengingatku,” (Thaha :14)

Apakah orang yang sudah ingat Allah dia sudah sholat?Tentu tidak! Begitu pula sama dengan orang yang mengatakan : makan untuk kenyang, apakah orang yang merasa kenyang walaupun dia tidak makan dikatakan sebagai orang yang telah makan? Tentu tidak demikian. Orang yang shalat,tapi dia tidak mengingat Allah dalam shalatnya berarti dia belum shalat.Begitu juga dengan jilbab,orang yang berjilbab dia memakai jilbab agar tidak diganggu, bukan berarti orang yang tidak diganggu tidak perlu berjilbab.Bukankah bunyi surat Al-ahzab ayat 33 ini hampir sama pengertiannya dengan firman Allah tentang seorang budak yang tidak ingin melacur karena menginginkan kesucian Kemudian Allah berfirman:

وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“ Janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi” (An-Nuur :33)

Apakah boleh kita menyuruh budak perempuan kita untuk melacur apabila mereka menginginkannya?! Jawabannya adalah : tentu tidak!!

Selain itu perintah Allah pada wanita muslimah untuk berjilbab terdapat pula pada surat An-Nuur ayat 31:



وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya”

Simaklah perkataan Aisyah radiyallahu anha mengenai ayat ini :

“Semoga Allah merahmati kepada wanita-wanita Muhajirin yang pertama, yang tatkala Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya: ”Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya” mereka lantas merobek kain tak berjahit yang mereka kenakan itu, lalu mereka berkerudung dengannya. (Dalam riwayat lain disebutkan:) Lalu mereka pun merobek sarung-sarung mereka dari pinggir, kemudian berkerudung dengannya”3

Akan dikemanakan kah surat An-Nuur ayat 31, juga hadits diatas? Selain itu ada hadits yang sangat kuat yang menjelaskan wajibnya kaum muslimah keluar mengenakan jilbab yang di bawakan oleh Ummu Athiyah radiyallahu anha beliau berkata:

“Rasulullah memerintahkan kami agar keluar pada hari ‘ledul Fithri maupun ‘ledul Adha; baik para gadis yang menginjak akil baligh, wanita-wanita yang sedang haid maupun wanita-wanita pingitan. Wanita-wanita yang haid tetap meninggalkan shalat, namun mereka dapat menyaksikan kebaikan (mendengarkan nasehat) dan dakwah kaum muslimin. Aku bertanya : Ya Rasulullah, salah seorang dari kami ada yang tidak memiliki jilbab? Beliau menjawab : Kalau begitu hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya (agar ia keluar dengan ber jilbab)!” (HR. Bukhari dan Muslim).4

Hadits ini merupakan dalil yang tak terbantahkan, dapat difahami dengan sejelas-jelasnya sabda beliau dan tak bisa di utak-atik maknanya oleh orang-orang yang senang mengekor hawa nafsu.

Wahai ukhti muslimah,…tanpa memakai jilbab saja manusia tak akan hentinya berkomentar dan mengkritik apa yang kita lakukan karena memang demikianlah tabiat manusia tidak ada puasnya. Apalagi kita yang berusaha untuk taat menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya tentu lebih berat lagi ujiannya.Hanya perlu kita camkan dan garis bawahi adalah semakin kita mengikuti kebanyakan orang semakin menyesatkan kita dari jalan yang di ridhai-Nya sebagaimana firman-Nya:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (Al-An’aam :116)

Cukuplah sudah kita berlepas diri dari pendapat ‘kebanyakan orang’ tak ada yang kita dapati melainkan syubhat-syubhat yang justru melemahkan keimanan kita.Dan tak ada jawaban yang patut di keluarkan dari lisan-lisan kaum muslimin dan muslimah terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya melainkan kami dengar dan kami ta’at (Sami’na wa atha’na) karena dari jawaban inilah kunci kesuksesan di dunia dan akhirat sebagaimana firman-Nya:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Sesungguhnya jawaban oran-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (AN-Nuur :51). Wallahu ‘alam.

Artikel ini telah di muraja’ah (di cek) oleh ustadz Muhammad Elvy Syam Lc.
Catatan kaki:

1. Penulis dengar dari ABC radio Australia [↩]
2. Jilbab Wanita Muslimah hal: 98 [↩]
3. HR. Bukhari 2/182 dan 8/397, Abu Daud, Hakim 4/194 lihat takrij hadits ini secara lengkap di “Jilbab Wanita Muslimah”, Syaikh Albani hal:87. [↩]
4. Hadits Bukhari no.324 dan Muslim no.431 lihat Ringkasan Shahih Muslim hal : 246. [↩]



readmore »»

Posted: 21 Nov 2009 10:06 PM PST

Takbiran Hari Raya
Posted: 21 Nov 2009 09:57 PM PST

Waktu Mulai & Berakhir Takbiran

a. Takbiran Idul Fitri

Takbiran pada saat idul fitri dimulai sejak maghrib malam tanggal 1 syawal sampai selesai shalat ‘id.

Hal ini berdasarkan dalil berikut:

1. Allah berfirman, yang artinya: “…hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (Qs. Al Baqarah: 185)

Ayat ini menjelaskan bahwasanya ketika orang sudah selesai menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadlan maka disyariatkan untuk mengagungkan Allah dengan bertakbir.

2. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 5621)

Keterangan:

1. Takbiran idul fitri dilakukan dimana saja dan kapan saja. Artinya tidak harus di masjid.

2. Sangat dianjurkan untuk memeperbanyak takbir ketika menuju lapangan. Karena ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Berikut diantara dalilnya:

* Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau tetap bertakbir sampai sahalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf)
* Dari Nafi: “Dulu Ibn Umar bertakbir pada hari id (ketika keluar rumah) sampai beliau tiba di lapangan. Beliau tetap melanjutkan takbir hingga imam datang.” (HR. Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)
* Dari Muhammad bin Ibrahim (seorang tabi’in), beliau mengatakan: “Dulu Abu Qotadah berangkat menuju lapangan pada hari raya kemudian bertakbir. Beliau terus bertakbir sampai tiba di lapangan.” (Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)

b. Takbiran Idul Adha

Takbiran Idul Adha ada dua:

1. Takbiran yang tidak terikat waktu (Takbiran Mutlak)

Takbiran hari raya yang tidak terikat waktu adalah takbiran yang dilakukan kapan saja, dimana saja, selama masih dalam rentang waktu yang dibolehkan.

Takbir mutlak menjelang idul Adha dimulai sejak tanggal 1 Dzulhijjah sampai waktu asar pada tanggal 13 Dzulhijjah. Selama tanggal 1 – 13 Dzulhijjah, kaum muslimin disyariatkan memperbanyak ucapan takbir di mana saja, kapan saja dan dalam kondisi apa saja. Boleh sambil berjalan, di kendaraan, bekerja, berdiri, duduk, ataupun berbaring. demikian pula, takbiran ini bisa dilakukan di rumah, jalan, kantor, sawah, pasar, lapangan, masjid, dst. Dalilnya adalah:

a. Allah berfirman, yang artinya: “…supaya mereka berdzikir (menyebut) nama Allah pada hari yang telah ditentukan…” (Qs. Al Hajj: 28)

Allah juga berfirman, yang artinya: “….Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang…” (Qs. Al Baqarah: 203)

Tafsirnya:

* Yang dimaksud berdzikir pada dua ayat di atas adalah melakukan takbiran
* Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Yang dimaksud ‘hari yang telah ditentukan’ adalah tanggal 1 – 10 Dzulhijjah, sedangkan maksud ‘beberapa hari yang berbilang’ adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.” (Al Bukhari secara Mua’alaq, sebelum hadis no.969)
* Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, bahwa maksud “hari yang telah ditentukan” adalah tanggal 1 – 9 Dzulhijjah, sedangkan makna “beberapa hari yang berbilang” adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. (Disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari 2/458, kata Ibn Mardawaih: Sanadnya shahih)

b. Hadis dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada amal yang dilakukan di hari yang lebih agung dan lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan di tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Oleh karena itu, perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid pada hari itu.” (HR. Ahmad & Sanadnya dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)

c. Imam Al Bukhari mengatakan: “Dulu Ibn Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada tanggal 1 – 10 Dzulhijjah. Mereka berdua mengucapkan takbiran kemudian masyarakat bertakbir disebabkan mendengar takbir mereka berdua.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.969)

d. Disebutkan Imam Bukhari: “Umar bin Khatab pernah bertakbir di kemahnya ketika di Mina dan didengar oleh orang yang berada di masjid. Akhirnya mereka semua bertakbir dan masyarakat yang di pasar-pun ikut bertakbir. Sehingga Mina guncang dengan takbiran.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.970)

e. Disebutkan oleh Ibn Hajar bahwa Ad Daruqutni meriwayatkan: “Dulu Abu Ja’far Al Baqir (cucu Ali bin Abi Thalib) bertakbir setiap selesai shalat sunnah di Mina.” (Fathul Bari 3/389)

2. Takbiran yang terikat waktu

Takbiran yang terikat waktu adalah takbiran yang dilaksanakan setiap selesai melaksanakan shalat wajib. Takbiran ini dimulai sejak setelah shalat subuh tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah shalat Asar tanggal 13 Dzulhijjah. Berikut dalil-dalilnya:

a. Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau dulu bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah dluhur pada tanggal 13 Dzulhijjah. (Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Al Albani)

b. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau juga bertakbir setelah ashar. (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: “Shahih dari Ali radhiyallahu ‘anhu“)

c. Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau tidak bertakbir setelah maghrib (malam tanggal 14 Dzluhijjah). (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: Sanadnya shahih)

d. Dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. (HR. Al Hakim dan dishahihkan An Nawawi dalam Al Majmu’)

Lafadz Takbir

Tidak terdapat riwayat lafadz takbir tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja ada beberapa riwayat dari beberapa sahabat yang mencontohkan lafadz takbir. Diantara riwayat tersebut adalah:

Pertama, Takbir Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Riwayat dari beliau ada 2 lafadz takbir:

أ‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ
ب‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ

Keterangan:
Lafadz: “Allahu Akbar” pada takbir Ibn Mas’ud boleh dibaca dua kali atau tiga kali. Semuanya diriwayatkan Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf.

Kedua, Takbir Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ
اللَّهُ أَكْبَرُ، عَلَى مَا هَدَانَا

Keterangan:
Takbir Ibn Abbas diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Syaikh Al Albani.

Ketiga, Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا

Keterangan: Ibn Hajar mengatakan: Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam Al Mushanaf dengan sanad shahih dari Salman.

Catatan Penting

As Shan’ani mengatakan: “Penjelasan tentang lafadz takbir sangat banyak dari berberapa ulama. Ini menunjukkan bahwa perintah bentuk takbir cukup longgar. Disamping ayat yang memerintahkan takbir juga menuntut demikian.”

Maksud perkataan As Shan’ani adalah bahwa lafadz takbir itu longgar, tidak hanya satu atau dua lafadz. Orang boleh milih mana saja yang dia suka. Bahkan sebagian ulama mengucapkan lafadz takbir yang tidak ada keterangan dalam riwayat hadis. Allahu A’lam.

Kebiasaan yang Salah Ketika Takbiran

Ada beberapa kebiasaan yang salah ketika melakukan takbiran di hari raya, diantaranya:

a. Takbir berjamaah di masjid atau di lapangan

Karena takbir yang sunnah itu dilakukan sendiri-sendiri dan tidak dikomando. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Anas bin Malik bahwa para sahabat ketika bersama nabi pada saat bertakbir, ada yang sedang membaca Allahu akbar, ada yang sedang membaca laa ilaaha illa Allah, dan satu sama lain tidak saling menyalahkan… (Musnad Imam Syafi’i 909)

Riwayat ini menunjukkan bahwa takbirnya para sahabat tidak seragam. Karena mereka bertakbir sendiri-sendiri dan tidak berjamaah.

b. Takbir dengan menggunakan pengeras suara

Perlu dipahami bahwa cara melakukan takbir hari raya tidak sama dengan cara melaksanakan adzan. Dalam syariat adzan, seseorang dianjurkan untuk melantangkan suaranya sekeras mungkin. Oleh karena itu, para juru adzan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Bilal, dan Abdullah bin Umi Maktum ketika hendak adzan mereka naik, mencari tempat yang tinggi. Tujuannya adalah agar adzan didengar oleh banyak orang. Namun ketika melakukan takbir hari raya, tidak terdapat satupun riwayat bahwa Bilal naik mencari tempat yang tinggi dalam rangka melakukan takbiran. Akan tetapi, beliau melakukan takbiran di bawah dengan suara keras yang hanya disengar oleh beberapa orang di sekelilingnya saja.

Oleh karena itu, sebaiknya melakukan takbir hari raya tidak sebagaimana adzan. Karena dua syariat ini adalah syariat yang berbeda.

c. Hanya bertakbir setiap selesai shalat berjamaah

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa takbiran itu ada dua. Ada yang terikat waktu dan ada yang sifatnya mutlak (tidak terikat waktu). Untuk takbiran yang mutlak sebaiknya tidak dilaksanakan setiap selesai shalat fardlu saja. Tetapi yang sunnah dilakukan setiap saat, kapan saja dan di mana saja.

Ibnul Mulaqin mengatakan: “Takbiran setelah shalat wajib dan yang lainnya, untuk takbiran Idul Fitri maka tidak dianjurkan untuk dilakukan setelah shalat, menurut pendapat yang lebih kuat.” (Al I’lam bi Fawaid Umadatil Ahkam: 4/259)

Amal yang disyariatkan ketika selesai shalat jamaah adalah berdzikir sebagaimana dzikir setelah shalat. Bukan melantunkan takbir. Waktu melantunkan takbir cukup longgar, bisa dilakukan kapanpun selama hari raya. Oleh karena itu, tidak selayaknya menyita waktu yang digunakan untuk berdzikir setelah shalat.

d. Tidak bertakbir ketika di tengah perjalanan menuju lapangan

Sebagaimana riwayat yang telah disebutkan di atas, bahwa takbir yang sunnah itu dilakukan ketika di perjalanan menuju tempat shalat hari raya. Namun sayang sunnah ini hampir hilang, mengingat banyaknya orang yang meninggalkannya.

e. Bertakbir dengan lafadz yang terlalu panjang

Sebagian pemimpin takbir sesekali melantunkan takbir dengan bacaan yang sangat panjang. Berikut lafadznya:

الله أكبر كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ…

Takbiran dengan lafadz yang panjang di atas tidak ada dalilnya. Allahu a’lam.

***

Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or.id

readmore »»

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Permohonan Bantuan Keramik dan Teras Masjid Ma’had Imam Asy Syafi’i, Banyuwangi, Jatim

Posted: 22 Nov 2009 11:28 PM PST

YAYASAN DARUN NAJAH GENTENG
MA’HAD IMAM ASY SYAFI’I AS SALAFY
Jl. Temuguruh No. 99E Genteng, Banyuwangi, Jatim 68465

Telp. (0333) 844913 Fax. (0333) 844913 email: asy.syafii@yahoo.com

بسم الله الرحمن الر حــــيم

Latar Belakang

1. Kondisi masjid yang telah dibangun dengan baik akan tetapi belum ada alas keramik sehingga alas hanya menggunakan tikar dan atau karpet biasa.
2. Agar masjid lebih bersih dan membuat santri, pengunjung dan jama’ah/masyarakat sekitar semakin nyaman dalam beribadah.

Misi

1. Da’wah Islamiyah Ahlussunnah Wal Jamaah berdasarkan Al Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafush Sholih.
2. Mengembangkan Lembaga Pendidikan Dieniyah Islamiyah (Pondok Pesantren) dengan metode Salaful Ummah didukung dengan lingkungan belajar yang kondusif.

Landasan Kegiatan

1. “Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah kamu sekalian saling tolong menolong dalam kejelekan dan kejahatan” (Qs. Al Maidah: 2)
2. “Barang siapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya dijalan Allah) maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya.” (Qs. Al Baqoroh: 245)
3. “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebulir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al Baqoroh: 261)
4. “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, Mengapa engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shaleh?” (Qs. Al Munafiqun: 10)
5. “Barang siapa yang membangun masjid untuk Allah maka Allah bangunkan rumah untuknya di surga.” (HR. Al Baihaqi di dalam Shohihul Jami’ no: 6127)

Agar lebih jelas mengenai rincian biaya, silahkan klik DOWNLOAD PROPOSAL

Bantuan dapat ditransfer ke rekening berikut:

BCA Cabang Genteng
No. Rekening 2630299627 a.n. Sonhaji

Konfirmasi ke +6281 332 196815 atau (0333) 7719949 dengan Bpk. Sonhaji

Atas bantuan pembaca sekalian, kami ucapkan terima kasih, jazaakumullahu khaira. Semoga amal kita diterima oleh Allah Ta’ala dan kelak akan bersaksi di hari kiamat sebagai hujjah kebaikan untuk kita.

readmore »»

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ. يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ : وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ.

“Tidak ada hari-hari yang pada waktu itu amal shaleh lebih dicintai oleh Allah melebihi sepuluh hari pertama (di bulan Dzulhijjah).” Para sahabat radhiyallahu ‘anhum bertanya, “Wahai Rasulullah, juga (melebihi keutamaan) jihad di jalan Allah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Ya, melebihi) jihad di jalan Allah, kecuali seorang yang keluar (berjihad di jalan Allah) dengan jiwa dan hartanya kemudian tidak ada yang kembali sedikitpun.”[1]

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan beramal shaleh pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Oleh karena itu, Imam an-Nawawi dalam kitab beliau Riyadhush Shalihin[2] mencantumkan hadits ini pada bab: Keutamaan ibadah puasa dan (ibadah-ibadah) lainnya pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:


1.Allah melebihkan keutamaan zaman/waktu tertentu di atas zaman/waktu lainnya, dan Dia mensyariatkan padanya ibadah dan amal shaleh untuk mendekatkan diri kepada-Nya[3].
2. Karena besarnya keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini, Allah Ta’ala sampai bersumpah dengannya dalam firman-Nya: وَلَيَالٍ عَشْرٍ “Dan demi malam yang sepuluh.” (Qs. al-Fajr: 2). Yaitu: sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah, menurut pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dan Ibnu Rajab[4], [serta menjadi pendapat mayoritas ulama].
3. Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani berkata, “Tampaknya sebab yang menjadikan istimewanya sepuluh hari (pertama) Dzulhijjah adalah karena padanya terkumpul ibadah-ibadah induk (besar), yaitu: shalat, puasa, sedekah dan haji, yang (semua) ini tidak terdapat pada hari-hari yang lain.”[5]
4. Amal shaleh dalam hadits ini bersifat umum, termasuk shalat, sedekah, puasa, berzikir, membaca al-Qur’an, berbuat baik kepada orang tua dan sebagainya.[6]
5. Termasuk amal shaleh yang paling dianjurkan pada waktu ini adalah berpuasa pada hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah)[7], bagi yang tidak sedang melakukan ibadah haji[8], karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang puasa pada hari ‘arafah, beliau bersabda, أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ “Aku berharap kepada Allah puasa ini menggugurkan (dosa-dosa) di tahun yang lalu dan tahun berikutnya.”[9]
6. Khusus untuk puasa, ada larangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukannya pada tanggal 10 Dzulhijjah[10], maka ini termasuk pengecualian.
7. Dalam hadits ini juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa berjihad di jalan Allah Ta’ala adalah termasuk amal yang paling utama[11].

***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.
Artikel www.muslim.or.id

[1] HSR al-Bukhari (no. 926), Abu Dawud (no. 2438), at-Tirmidzi (no. 757) dan Ibnu Majah (no. 1727), dan ini lafazh Abu Dawud.

[2] 2/382- Bahjatun Naazhirin.

[3] Lihat keterangan Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab Latha-iful Ma’aarif (hal. 19-20).

[4] Lihat Tafsir Ibnu Katsir (4/651) dan Latha-iful Ma’aarif (hal. 20).

[5] Fathul Baari (2/460).

[6] Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam Syarhu Riyadhis Shalihin (3/411).

[7] Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam as-Syarhul Mumti’ (3/102).

[8] Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak puasa pada hari itu ketika melakukan ibadah haji, sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 1887) dan Muslim (no. 123). Lihat kitab Zaadul Ma’ad (2/73).

[9] HSR Muslim (no. 1162).

[10] Sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 1889) dan Muslim (no. 1137).

[11] Lihat Syarhu Riyadhis Shalihin (3/411).

readmore »»